Pernahkah disuatu hari, -entah kapanpun itu- tebersit keinginanmu
untuk menelefonku, sayang?
Keinginan yang begitu kuat, hingga terkadang
kau tak sanggup untuk menahannya?
Aku pernah. Sering malah.
Begitu
kuatnya keinginan itu meski hanya ingin bertanya seputar kabarmu.
Begitu
inginnya aku, hingga bermenit-menit ku tatap layar ponsel yang menampilkan
barisan nomor selulermu.
Namun dengan menyerah kalah, ku akhiri angka-angka
tersebut dengan menekan delete kemudian.
Kau tau, sayang, bagaimana perjuanganku
untuk menahan keinginan itu?
Menahannya semampuku dan kemudian menyimpan
di dalam sini, di hatiku?
Semua tak mudah, sayang.
Tak semudah seperti
saat kau berkata padaku bahwa semua keinginanku itu adalah wajar.
Yang
jelas, bagiku, aku perlu punya tenaga ekstra untuk meredam keinginanku
itu saat dia meronta.
Kau tau akhir ceritanya, sayang?
Aku bahkan sulit
untuk tersenyum pada bayanganku sendiri di cermin kalau sudah begitu.
Meski terdengar tak masuk akal, aku sering berharap bisa membalikan
waktu.
Membalikan peristiwa seperti dulu.
Saat aku masih punya
kesempatan bertukar cerita denganmu.
Aku ingat sesuatu.
Pernah di suatu
masa saat kita sedang asik bertukar cerita tiba-tiba pembicaraan kita harus
terputus, hanya karena ulah baterai ponselku yang protes karena minta
segera diisi.
Lalu akupun rela melanjutkan obrolan kita dengan kabel
yang tersambung dari stop kontak ke ponsel saking tak relanya harus
mengakhiri pembicaraan denganmu saat itu.
Sungguh, sayang, peristiwa itu
mampu membuatku geli dan tak urung menerbitkan seulas senyum di wajahku
jika mengingatnya.
Kini, terkadang sepotong tanya mampir padaku, apakah mungkin kau
tidak pernah merasakan seperti aku, sayang?
Memiliki keinginan seperti
yang kurasakan, pernahkah?
Seingatku, bahkan sejak dulu pun keinginan
menelepon selalu bermula dari aku.
Malahan, kau sering merasa terganggu
dengan masuknya telepon-teleponku waktu itu.
Kau tentu masih ingat berapa
banyak panggilan tak terjawab yang pernah ku tinggalkan di ponselmu.
Itu
bahkan belum seberapa jika di gabungan dengan pesan-pesan singkatku yang acap
kali aku layangkan padamu.
Bahkan masih bisa kubayangkan bagaimana
jengkelnya dirimu waktu itu karena merasa terganggu dengan deringan-deringan teleponku, hingga kau pun menonaktifkan seluruh ponselmu pada akhirnya.
Begitulah aku, yang selalu merasa senang mendengar suaramu kala itu.
Merasakan bahagia saat mendengarmu tertawa disana.
Bisa bebas bercerita
dan bertukar kabar setiap saat.
Berbagi tawa dan saling menyemangati
satu sama lain.
Bahkan tak jarang saling berbagi kekesalan pada apa yang
terjadi pada kehidupan sehari-hari.
Ah, tentu takkan ada habisnya jika aku runutkan kenangan kita itu
satu persatu saat ini.
Meski hari-hari itu mungkin sudah tidak akan pernah
datang kembali padaku
Aku hanya ingin kau tau bahwa aku benar-benar
kehilangan dan sangat merindukan saat-saat milik kita itu.
Terlebih lagi aku
merindukan saat kau mengirimkan sebaris pesan singkat ke ponselku yang
lantas kubalas ‘ya', seketika itu juga dengan senyum terkembang
di wajahku.
Tulismu; ‘boleh aku mendengar suaramu?’
fidget
Tidak ada komentar:
Posting Komentar