Kamis, 30 Oktober 2014

Aku Melewatkannya?








Katanya "Rain". Dimanakah? Di Surabaya? Seluruh Surabaya? Apakah berandamu sempat dikunjunginya, Sayang? 


Mengapa aku tak sedikitpun terbangun? Mengapa aku tak juga terjaga? Aku melewatkan hujan pertama? Iyakah?

Ah Sayang, walaupun menurutmu, menurut dia bahkan menurut mereka hujan tak ada artinya, namun bagiku berbeda.
Hujan selalu istimewa. Setiap rintiknya tak pernah sama.
Hujan pertama terlewatkan.
Yah seperti tentangku untukmu, aku hanya seorang yang hanya sepintas lewat. Tanpa bisa dicegah dan sementara.

Selamat pagi, Kamu
Selamat Hujan








fidget







Minggu, 28 September 2014

Mencoba Berhenti







Mungkin, dengan hanya menghirup aromanya saja aku sudah mampu merasakan nikmatnya kopi.




*Sedang berpuasa menyesap kopi, bukan demi diriku sendiri*





fidget





Menebal








Kemaraunya terasa begitu panjang
Hujannya tak kunjung bertandang 


Lalu dengan apa aku harus meluruhkan semua rindu yang kian menebal?





fidget



Rindu Hujan




Percayalah,  Sayang, aku masih seperti dulu.





 


Masih suka menunggu hujan ditemani secangkir kopi hangat yang pekat sembari membuka percakapan diantara aku dan bayanganmu di ingatanku
Sayangnya kini, hujan tak lagi ingin segera datang








fidget








Jumat, 30 Mei 2014

Rasa Mei yang Istimewa



Kau pasti sudah pernah merasakan terlelap dengan rasa yang begitu tenang, dengan hanya beralaskan hamparan rumput menghijau dan beratapkan langit dengan ribuan gemintang yang tersipu malu di balik awan-awan yang berarak kelabu.

Kau, Sayang,  sudah pasti pernah merasakan sangat nyaman walau hanya berselimutkan sleepingbag dan carrier 40L sebagai sandaran dari kerikil-kerikil yang lebih mengganjal kepalamu.







Aku sudah pernah, walau hanya sebatas dataran-dataran rendah seperti pantai, hutan, alas. Namun kini berbeda

Aku sedang berada di Puncak Bayangan, Gunung Penanggungan




Waktu serasa begitu cepat namun melambat





Ketika langit yang gemerlap ditarik paksa oleh cahaya mentari yang mengabur perlahan
Dan ketika, aku, ya aku dibangun paksa oleh semilir angin yang membawa aroma seduhan kopi













Serta ketika pertama kali yang terlihat saat mata terbuka adalah wewarni tenda dari para pendaki


Juga ketika goresan wewarni dari bias sang mentari, adalah pelangi yang melangkapi pagi ini dengan benar-benar patut untuk dikagumi









Matahari telah berada hampir saja menuju 45 derajat kemiringan, beberapa nesting, gelas, piring sudah mengotor tanpa sisa










 

Seperti beberapa tujuan yang tampak terlihat begitu tidakmudahnya untuk dicapai, namun jika lebih beranggapan bahwa mampu, maka kemudahan-kemudahan akan lebih menghampiri dibanding dengan hanya bisa mengeluarkan kata keluhan.

Puncak memang tujuan, ada yang lebih dari itu. Puncak adalah sebuah keistimewaan yang perlu dirasakan, disimpan, dan dipertahankan setelah beberapa perjuangan. Dalam alam, dan hati yang terdalam






Walau kaki begitu terasa ngilu dan mulai kaku

 


 Walau celana mulai menganga




Juga warna kulit berubah,








Jika hasil dari semua perjuangan, mulai dari terpeleset, terjatuh, terpental, terluka pada bagian kening saat pendakian semalam tanpa headlamp, lelah yang berkepanjangan, rasa yang hampir berkali-kali menyerah dan memutuskan untuk balik menuju tenda, maka kurasa telah terbayar. Terbayar secara tuntas bila melihat gumpalan-gumpalan awan seperti ini. 









Dan apa yang lebih berharga dari sahabat yang yang turut merasakan haru??

 
















"Karna kita hanya segilintir debu di padang pasir , sebulir air di luasnya samudra, atau bahkan bukan apa-apa di mata Tuhan. Bersyukurlah tentang yang sederhana, tak perlu mencari alasan. Karna Tuhan masih bermurah hati memberikan udara tanpa batas, tanah yang luas, fajar dan senja yang selaras, hujan yang tuntas, kemarau yang kembali meranggas. Semua yang saling menuju keteraturan. Bersyukurlah. . . "



Puncak memang tujuan, ada yang lebih dari itu. Puncak adalah sebuah keistimewaan yang perlu dirasakan, disimpan, dan dipertahankan setelah beberapa perjuangan. Dalam alam, dan hati yang terdalam





fidget









Jumat, 09 Mei 2014

Aku Harus Tetap Menunggukah, Kamu??


Senjanya telah habis, Kamu

Coba saja lihat, lampu-lampunya telah dinyalakan mengganti terangnya langit dari arah barat. 
Menyingkap jingga dengan cepat









Apa aku harus menunggu lagi??
Jika iya, maka beri aku satu pesanmu untuk tetap di sini



Dan bila tak juga ada pesanmu atau hadirmu, maka biarkan aku menganggap tak pernah terjadi apa-apa setelah ini
Dan saling pergi.



fidget








Aku Masih Menunggu, Kamu






Kini pada jam tangan yang ku kenakan telah mengubah 15.49 menjadi 16.49
Masih terhitung 60menit, tapi rasanya begitu lama.


Sekarang aku tau rasanya, Kamu, tentang ujarmu pada satu pesan : "Lamaaaa" yang telah muncul di ponselku itu.
Aku merasakannya saat ini. Aku mengerti.






Tak hanya lama, tapi sangat begitu lama dan lamban.


Bukan salah waktu, bukan salahmu, hanya salahku yang menginginkan keberadaanmu mengisi kursi di hadapanku.
Salahkan aku, Kamu, karena aku rindu :')






fidget




Aku Ingin Menunggu, Kamu


Aku ingin menunggu, Kamu 
Menunggu serupa kamu, menanti datangnya aku beberapa kali di tempat ini
Aku ingin merasakan, Kamu
Merasakan seperti kamu, dan jemunya saat yang diharapkan ternyata tidak pasti








Ada yang ingin ku tuntaskan, tentang kita
Agar setelah engkau pergi, takkan ada yang membuat malamku menyesakkan penuh tanya
Dan setelah aku yang menjauh, takkan ada rasa yang mengganjal di dada 








fidget





Kamis, 08 Mei 2014

Di Ujung Jalan



Mendekatlah, mari bersenandung bersama
Aku takkan membiarkanmu sendiri melewati setiap nada dan beberapa liriknya.

Ijinkan aku hingga terlelap, seperti pada malam-malam kita



Di ujung jalan ini
Aku menunggumu, aku menantimu
Ditengah terik matahari
Aku menyanyikan kisah tentang kita

Alunan denting suara hati
Mengulas kembali jejak yang telah lalu
Untaian makna yang tercipta
Aku abadikan di tempat terindah

Tuhan kembalikan
Segalanya tentang dia seperti sedia kala

Izinkan aku tuk memeluknya mungkin tuk terakhir kali
Agar aku dapat merasakan cinta ini selamanya

Ketika malam telah tiba
Aku menyadari, kau takkan kembali





fidget



Dua Senja



Untuk kedua kalinya aku membenci senja



Senja beberapa tahun yang lalu, sejak kau mengucapkan
ingin pergi dari hatiku. Kemana?, tanyaku terkejut dengan kening berkerut. Kau hanya mengangkat bahu. Tak tau. Yang pasti kau ingin pergi. Tapi bukan karena tak mencintaiku lagi, begitu katamu, tapi karena cintaku membebanimu.
Tapi sebelum kau pergi kau juga katakan bahwa aku tak perlu cemas, kau bilang akan tetap mengingatku selamanya.
Bagaimana dengan cinta?? Apa hanya sebatas mengingat, Sayang??
Ah, pasti sesuatu yang tajam telah menusuk ulu hatiku saat itu dan membuatnya ngilu bukan main. Dan lantas saja membuat kedua mataku seketika basah berair. Meluap begitu saja. Seperti mata air dari danau kala itu yang kian gelap seiring dengan jingga dari barat yang mulai bersembunyi. 
Memintamu untuk tetap tinggal disini, di hatiku, juga tak mungkin. Meski berkali-kali aku katakan padamu bahwa aku ingin kau tetap tinggal, tapi tetap saja kau ingin pergi dariku. Demi seseorang yang lain, yang sedang menunggu hatimu yang utuh, tanpa aku.
Seandainya engkau tau, rasanya duniaku seketika gelap, tubuhku terguncang hebat, dan aku susah bernafas, beberapa potong amarah tercekat ditenggorokan. Jangan pernah tanyakan hatiku, bahkan aku tak sanggup mengungkapkannya. Yang jelas, hancur, lebur!
Harus kah kau pergi sekarang? tanyaku sekali lagi dan berharap kau berubah pikiran.
Kau mengangguk pasti. 
Aku terlalu mencintaimu, tinggallah denganku di sini, kataku memohon. 
Kau hanya diam. Wajahmu datar. Jika saja erat pelukanku di tubuhmu bisa membuat langkahmu tertahan, pasti sudah kulakukan. Tapi niatmu sudah bulat.
Kau pun melangkah pergi. Tak ada pelukan perpisahan maupun ciuman kecil di kening sebagai tanda perpisahan.
Langkahmu semakin menjauh.
Aku diam mematung bersama dengan malam yang mulai menampak, bersama pantulan-pantulan lampu yang berjajar rapi dari danau saat itu. 
Tak tau harus berbuat apa lagi untuk menahanmu tuk tetap tinggal di hatiku.
Mendadak ketika bayangmu hilang dari sudut-sudut mataku, juga kebahagiaanku yang ikut menghilang denganmu hingga kini.
Hingga di tengah isakan itu aku berucap lirih "Pergilah. Kutitipkan satu-nya milikku padamu, hatiku"


Ah, Sayang, kau tau sejak saat itulah, aku tak mengenali diriku.

Kini, selain aku pandai berpura-pura, ternyata aku juga munafik, begitu ucap seseorang yang baru mengenalku belasan hari.
Apakah dia tau, saat kata itu terlontar dari bibirnya, ada aliran hangat disepasang mataku dan sesuatu tiba-tiba begitu penuh dan menyesakkan dada?

Hari ini menyisakan sedikit luka, Sayang. Jika boleh aku jujur, ini menyakitkan dan ketika menulis ini ada tangis yang berjatuhan di keyboard. Ah memang aku cengeng. Jangan salahkan aku ya 

Tentang beberapa kalimat seperti "Kamu munafik", "Kamu egois", "Kamu menyebalkan" dan apalagi?? Coba sebutkan!
Apa aku seburuk itu, Sayang?
Jawab, Sayang, jawab!!! Aku seburuk itukah??!!!!!
Boleh aku pinjam pundakmu? Akan kuceritakan semuanya.

Senja ini, beberapa kalimat telah kusediakan untuk menuntaskan salahku padanya.
Tentang ketidakpedulianku, tentang kekhawatiranku, tentang keraguanku, tentang segala kekeliruanku, dan tentang rasa sayang yang timbul atas dia yang mengisiku dengan berbagai cara.
Aku menunggu waktu, detik yang mengejar menit, dan menit berlari menuju jam-jam yang menjemukan. Aku menunggu waktu yang tepat, dan mencari kekuatan disela-sela matanya. Beberapa kali aku telah menangkapnya, lalu kurekam dalam sepasang mataku dan menyimpannya pada hatiku. 
Aku terlalu sibuk merangkai kata untuk ku utarakan padanya, sedangkan dia sibuk bersama gadget dan secangkir kopi yang mulai tak terasa hangat. Seperi pertemuanku dengannya yang kian dingin.
Dan sekali lagi, sebelum beberapa potong kalimat untuk menjelaskan, entah mengapa tiba-tiba "Kamu munafik" mengejutkanku dari bibirnya. Aku hanya terpanah dengan kening yang sedikit berkerut heran. "Bukankah kamu menyukai kopi, mengapa yang ada secangkir coklat hangat?". "Lalu?". "Coba kau simpulkan!", ucapnya yang berhasil membungkam mulutku tanpa banyak bertanya setelah itu. 

Aku tenggelam, bersama senja yang tak terlihat. Sama halnya dengan air yang menggenang di pelupuk mata yang juga tak tampak, bersembunyi dari balik jilbab jingga yang ku kenakan, dan segera menghilang ditelan retina.

Bagaimana bisa dia mengatakanku seperti itu?
Berapa lama ia mengenalku?
Sejauh mana ia bersamaku?
Ha?!!
Katakan!! Coba katakan!!


Apa hanya karna secangkir coklat hangat?
Ah aku tak sebodoh itu bukan??
Atau aku yang berpura tak mengetahui apapun dan bagaimanapun??

Aku memahami semuanya, bahkan tanpa mengungkapkan perasaannya sekalipun
Sungguh!
Aku hanya ingin melihatnya untukku, hanya itu!


Katakan padaku, tunjukkkan padaku!!
Pada sisi bagian mana aku egois??
Dengan tidak menemaninya sepanjang malam hingga menjemput pagi dengan mata yang melawan kantuk??
Dengan tidak mengkhawatirkannya yang hanya berujung tanya "Hey kamu, dimana kamu?", dan ternyata jawabnya beberapa jam setelah itu??
Dengan tidak menunggu pada tempat biasa untuk pertemuan-pertemuan itu, walau aku tau pada akhirnya hanya aku yang berada di situ tanpa siapapun? 
Dengan tidak kecewa saat yang aku tahu hanya tanda Seen yang tampak pada sapaku atau ucapan-ucapan yang sengaja kurangkai itu?
Dengan ketidaksanggupun untuk tidak membalas panggilan "Sayang", apakah semudah itu jika memang aku munafik? Dan egois??
Jelaskan padaku, jelaskan!!
Bagaimana seorang gadis yang memiliki ketakutan mendalam, namun harus berusaha melawan rasa keinginan yang lebih kuat dari itu semua?
Bagaimana seorang gadis menahan senyum saat beberapa pesan atau percakapan-percakapan yang mulai menjadi candu baginya mengalahkan ketakutannya?
Bagaimana seorang gadis membatasi rasa rindu tanpa harus berucap, seperti mudahnya seseorang yang dirindukan mengucap rindu didepannya?? Bagaimana?? Ha?!!!
Bagaimana seorang gadis memendam keinginan-keinginan untuk tidak memeluk seseorang yang kian lama kian kabur dari kehidupan nyatanya? Bagaimana?? Jawab!!
Itukah yang dinamakan egois dan munafik!!

Mengapa tak ada kesempatan untukku menuntaskannya?!
Biarkan aku berbicara, dengarkan, dan lihat aku!



Ah sudahlah, pergilah!
Dan hatiku mulai merasa cinta.






fidget








Cinta Jangan Sembunyi






"Katakan kepadaku engkau mencintaiku dalam hatimu

Katakan padaku kau melihat cinta itu
Tunjukkan kepadaku rasa yang kau miliki dalam hatimu
Tunjukkan padaku, ku di sini menunggu cintamu"





fidget













Minggu, 04 Mei 2014

Menanti, Kamu


Aku yakin, Kamu, kau akan menemuiku di sini








Jadi biarkan aku menanti
Hingga malam sekalian menjelang pagi.


Aku akan menanti,
seperti tempat ini yang membawamu ke alam mimpi





fidget




Untukmu, Kamu





"Ada yang menyusup di sela mataku,
Bukan badai, hanya sepucuk sepi yang dihadirkan gerismis

Pagi menjadi neraka yang basah, 
Kenangan manis pun pahit menghakimi terlampau pasrah

Jangan janjikan pelangi, aku tak seberwarna itu.
Cukup hadiahi awan, meski aku lelah dengan hujan" 








"Untukmu,
Aku menuliskan ini untukmu, sebagai balasan yang seharusnya tak perlu kau baca
Aku melayangkan ini padamu, sebagai kalimat terakhirku pada ke13 tentang kita


Untukmu,
Jika aku pernah berucap bahwa aku menyukai hujan yang ditemani kopi bersama "Your Guardian Angel", tak ada yang lebih membuatku nyaman saat aku terlibat dalam percakapan kita dalam setiap penghujung malam.

Kehardiranmu begitu cepat, bahkan aku tak menyadarinya, hanya saja aku telah merasakan sekujur tubuhku tak sebeku dulu.
Hatiku yang tak sekaku itu.
Yang tetibanya, hangat dalam sekejap telah memelukku. 


Aku takkan memintamu untuk tetap tinggal bersamaku.
Sudah ku katakan itu berulang kali, bukan?
Kau seharusnya tau beberapa alasan yang telah aku ceritakan pada malam ke 3
Aku takkan menjelaskannya lagi padamu, sebab yang aku tau, kau sangat mengerti tentang aku lebih dari sekedar ceritaku
Aku hanya ingin meyakinkan hatiku, hatimu bahwa ini bukan sekedar kekaguman yang hanya berlaku ketika yang ada cuma sempurna
Bukan itu yang aku cari, Kamu
Mengertilah . . .


Tak pernah sekalipun aku memintamu untuk segera kau tinggalkan.
Sebab aku hafal betul bagaimana rasa setelah perpisahan. Yang menurutmu, perpisahan biasa, dengan banyak orang yang pernah kau kisahkan padaku di pagi ke 7
Bagiku perpisahan adalah waktu yang menyeretku cepat menuju ruang gelap, kedap dan pengap. Aku membenci yang disebut malam tanpa siapapun disitu. 
Jika kau ingin melihatku seperti itu, segeralah pergi jauh.








Untukmu, Kamu
Jangan pernah menanyakan bagaimana dengan hariku, setelah kamu menemaniku menjemput pagi.
Jangan sekalipun menanyakan apa yang ada dalam rasaku, setelah kamu mengajariku melawan sepi.
Jangan lagi menanyakan kapan ada kita di antara aku dan kamu, setelah kamu telah menjadi bagian dari diriku sendiri.


Untukmu, Kamu
Aku menyerahkan hatiku, bukan untuk membuatmu menyerah

Namun, jika memang kesempatan tak memberi ruang, anggap saja secuil hatiku sebagai tanda terima kasihku untuk semua. Untuk pertemuan-pertemuan kita pada tempat biasanya yang akan berujung hampa, untuk percakapan kita yang akan terasa lebih hambar, dan untuk malam yang terlalu malam dan pagi yang terlalu pagi."


Dari aku, gadis biasa yang tak istimewa








fidget








Temani Aku









Mari temani aku, Sayang

Secangkir kopi takkan terasa pahit, sekalipun tak sesendok gulapun ditambahkan jika caranya dengan menyesapnya sembari menceritakan degupmu yang masih mengeja namaku walau hanya terbata.
Atau bahkan jika dapat menikmatinya langsung dari setangkup bibirmu.




fidget




Sepucuk Keluh


 


Bolehkah aku menyapamu?
Dan masih memanggilmu dengan sebutan "sayang"? Boleh?




Ah... Hai, Sayang
Selamat pagi yang terlalu pagi
Aku menemuimu di sini, bukan tentang rindu atau sekedar basa-basi tentang lalu
Namun, entahlah, seperti candu bagiku
Yang semakin aku menarik diriku, semakin aku terperangkap terlalu jauh
Sudahlah, kurasa kau memang selalu menganggapku terlalu sendu




Sayang, apa kabar?
Ku harap kau dalam keadaan bahagia, selalu. Bukan begitu?

Malam ini, maksudku pagi ini, aku merasa terlalu sendiri. Terlalu sepi
Iya, jika menurutmu aku telah menghabiskan ribuan hari dengan tanpa seseorang, seharusnya aku telah terbiasa dilatih waktu
Tapi pada kenyataannya, tak ada yang bisa mengangkat lalu menerbangkanku ke beberapa titik yang membuatku lebih mengerti bahwa aku mampu berdiri, saat ini

Ada banyak hal yang ingin ku ceritakan padamu, setelah aku akrab dengan sunyi, yang tentunya sejak kau memutuskan pergi

Betapa aku merasa bodoh, Sayang, saat aku mulai berjalan dan belajar berlari untuk mengejar mimpiku yang sempat jatuh itu, namun untuk beberapa jarak yang tak terlalu rapat aku kembali terperosok.
Dan tentunya, sakit. Ya, aku merasakan sakit kembali.
Terluka. Lagi


Kau tau, Sayang, aku sudah senantiasa menyembuhkannya tanpa siapapun. Seperti itu dan berulang kali

Kau pernah tau, pernah rasakan lelahnya aku, Sayang?
Andai jika gelapnya malam mampu menyusupkanku hingga tepat dipundakmu, akan ku beri tahu.





Aku takkan memintamu seperti biasanya, seperti beberapa waktu lalu, seperti saat aku tergeletak tanpa ada uluran tanganmu, aku takkan memintamu membalas semua tumpukan rinduku
Sungguh!
Aku, aku hanya ingin berucap jika sempat, maka sebut aku di atas sajadahmu pada ujung malam ya
Akan ku titipkan beberapa potong cerita kita, agar juga dapat merasakan bahagiamu

Selamat terlelap, Sayang








fidget






Minggu, 09 Maret 2014

Untitled

Hai . . .
Hai selamat pagi, Sayang



Apa kabarmu?
Lama ya tak berjumpa :')








Aku jadi merasa kaku, jadi merasa seperti awal tak mengenalmu
Bahkan aku lupa bagaimana berpuisi untukmu
Tapi tenanglah, aku selalu mengingat cara mendoakanmu disetiap hariku 





fidget