Kamis, 08 Mei 2014

Dua Senja



Untuk kedua kalinya aku membenci senja



Senja beberapa tahun yang lalu, sejak kau mengucapkan
ingin pergi dari hatiku. Kemana?, tanyaku terkejut dengan kening berkerut. Kau hanya mengangkat bahu. Tak tau. Yang pasti kau ingin pergi. Tapi bukan karena tak mencintaiku lagi, begitu katamu, tapi karena cintaku membebanimu.
Tapi sebelum kau pergi kau juga katakan bahwa aku tak perlu cemas, kau bilang akan tetap mengingatku selamanya.
Bagaimana dengan cinta?? Apa hanya sebatas mengingat, Sayang??
Ah, pasti sesuatu yang tajam telah menusuk ulu hatiku saat itu dan membuatnya ngilu bukan main. Dan lantas saja membuat kedua mataku seketika basah berair. Meluap begitu saja. Seperti mata air dari danau kala itu yang kian gelap seiring dengan jingga dari barat yang mulai bersembunyi. 
Memintamu untuk tetap tinggal disini, di hatiku, juga tak mungkin. Meski berkali-kali aku katakan padamu bahwa aku ingin kau tetap tinggal, tapi tetap saja kau ingin pergi dariku. Demi seseorang yang lain, yang sedang menunggu hatimu yang utuh, tanpa aku.
Seandainya engkau tau, rasanya duniaku seketika gelap, tubuhku terguncang hebat, dan aku susah bernafas, beberapa potong amarah tercekat ditenggorokan. Jangan pernah tanyakan hatiku, bahkan aku tak sanggup mengungkapkannya. Yang jelas, hancur, lebur!
Harus kah kau pergi sekarang? tanyaku sekali lagi dan berharap kau berubah pikiran.
Kau mengangguk pasti. 
Aku terlalu mencintaimu, tinggallah denganku di sini, kataku memohon. 
Kau hanya diam. Wajahmu datar. Jika saja erat pelukanku di tubuhmu bisa membuat langkahmu tertahan, pasti sudah kulakukan. Tapi niatmu sudah bulat.
Kau pun melangkah pergi. Tak ada pelukan perpisahan maupun ciuman kecil di kening sebagai tanda perpisahan.
Langkahmu semakin menjauh.
Aku diam mematung bersama dengan malam yang mulai menampak, bersama pantulan-pantulan lampu yang berjajar rapi dari danau saat itu. 
Tak tau harus berbuat apa lagi untuk menahanmu tuk tetap tinggal di hatiku.
Mendadak ketika bayangmu hilang dari sudut-sudut mataku, juga kebahagiaanku yang ikut menghilang denganmu hingga kini.
Hingga di tengah isakan itu aku berucap lirih "Pergilah. Kutitipkan satu-nya milikku padamu, hatiku"


Ah, Sayang, kau tau sejak saat itulah, aku tak mengenali diriku.

Kini, selain aku pandai berpura-pura, ternyata aku juga munafik, begitu ucap seseorang yang baru mengenalku belasan hari.
Apakah dia tau, saat kata itu terlontar dari bibirnya, ada aliran hangat disepasang mataku dan sesuatu tiba-tiba begitu penuh dan menyesakkan dada?

Hari ini menyisakan sedikit luka, Sayang. Jika boleh aku jujur, ini menyakitkan dan ketika menulis ini ada tangis yang berjatuhan di keyboard. Ah memang aku cengeng. Jangan salahkan aku ya 

Tentang beberapa kalimat seperti "Kamu munafik", "Kamu egois", "Kamu menyebalkan" dan apalagi?? Coba sebutkan!
Apa aku seburuk itu, Sayang?
Jawab, Sayang, jawab!!! Aku seburuk itukah??!!!!!
Boleh aku pinjam pundakmu? Akan kuceritakan semuanya.

Senja ini, beberapa kalimat telah kusediakan untuk menuntaskan salahku padanya.
Tentang ketidakpedulianku, tentang kekhawatiranku, tentang keraguanku, tentang segala kekeliruanku, dan tentang rasa sayang yang timbul atas dia yang mengisiku dengan berbagai cara.
Aku menunggu waktu, detik yang mengejar menit, dan menit berlari menuju jam-jam yang menjemukan. Aku menunggu waktu yang tepat, dan mencari kekuatan disela-sela matanya. Beberapa kali aku telah menangkapnya, lalu kurekam dalam sepasang mataku dan menyimpannya pada hatiku. 
Aku terlalu sibuk merangkai kata untuk ku utarakan padanya, sedangkan dia sibuk bersama gadget dan secangkir kopi yang mulai tak terasa hangat. Seperi pertemuanku dengannya yang kian dingin.
Dan sekali lagi, sebelum beberapa potong kalimat untuk menjelaskan, entah mengapa tiba-tiba "Kamu munafik" mengejutkanku dari bibirnya. Aku hanya terpanah dengan kening yang sedikit berkerut heran. "Bukankah kamu menyukai kopi, mengapa yang ada secangkir coklat hangat?". "Lalu?". "Coba kau simpulkan!", ucapnya yang berhasil membungkam mulutku tanpa banyak bertanya setelah itu. 

Aku tenggelam, bersama senja yang tak terlihat. Sama halnya dengan air yang menggenang di pelupuk mata yang juga tak tampak, bersembunyi dari balik jilbab jingga yang ku kenakan, dan segera menghilang ditelan retina.

Bagaimana bisa dia mengatakanku seperti itu?
Berapa lama ia mengenalku?
Sejauh mana ia bersamaku?
Ha?!!
Katakan!! Coba katakan!!


Apa hanya karna secangkir coklat hangat?
Ah aku tak sebodoh itu bukan??
Atau aku yang berpura tak mengetahui apapun dan bagaimanapun??

Aku memahami semuanya, bahkan tanpa mengungkapkan perasaannya sekalipun
Sungguh!
Aku hanya ingin melihatnya untukku, hanya itu!


Katakan padaku, tunjukkkan padaku!!
Pada sisi bagian mana aku egois??
Dengan tidak menemaninya sepanjang malam hingga menjemput pagi dengan mata yang melawan kantuk??
Dengan tidak mengkhawatirkannya yang hanya berujung tanya "Hey kamu, dimana kamu?", dan ternyata jawabnya beberapa jam setelah itu??
Dengan tidak menunggu pada tempat biasa untuk pertemuan-pertemuan itu, walau aku tau pada akhirnya hanya aku yang berada di situ tanpa siapapun? 
Dengan tidak kecewa saat yang aku tahu hanya tanda Seen yang tampak pada sapaku atau ucapan-ucapan yang sengaja kurangkai itu?
Dengan ketidaksanggupun untuk tidak membalas panggilan "Sayang", apakah semudah itu jika memang aku munafik? Dan egois??
Jelaskan padaku, jelaskan!!
Bagaimana seorang gadis yang memiliki ketakutan mendalam, namun harus berusaha melawan rasa keinginan yang lebih kuat dari itu semua?
Bagaimana seorang gadis menahan senyum saat beberapa pesan atau percakapan-percakapan yang mulai menjadi candu baginya mengalahkan ketakutannya?
Bagaimana seorang gadis membatasi rasa rindu tanpa harus berucap, seperti mudahnya seseorang yang dirindukan mengucap rindu didepannya?? Bagaimana?? Ha?!!!
Bagaimana seorang gadis memendam keinginan-keinginan untuk tidak memeluk seseorang yang kian lama kian kabur dari kehidupan nyatanya? Bagaimana?? Jawab!!
Itukah yang dinamakan egois dan munafik!!

Mengapa tak ada kesempatan untukku menuntaskannya?!
Biarkan aku berbicara, dengarkan, dan lihat aku!



Ah sudahlah, pergilah!
Dan hatiku mulai merasa cinta.






fidget








Tidak ada komentar:

Posting Komentar