Sabtu, 28 Januari 2012

Rizqie Hidayatullah

Ketika undangan merah merekah itu datang keberanda ilalangku
membaca bait demi bait kata - kata yang terlukis di sampulnya
bagai meruntuhkan tiang lazuardi dan menghalau burung - burung camar kesudut tangisanku
perlahan jatuh cucuran air mata luka di antara namamu dan nama perempuan jalang itu
aku masih berkaca pada warna di wajahmu menuruti sesal yang terurai
bersama angin yang enggan lagi menyapaku pada rongga diammu
semenjak kau langkah kan kaki turun dari hatiku di situlah aku tanam setangkai perih untukmu
dan sebelum hujan itu menyapa kita, kau janjikan beribu mozaik embun di padang nafas
melepas yang sudah kita rajut yang dulunya indah milik kita jua
cintaku memang sederhana dan mungkin kau masih inginkan yang lain di senandung senja
yang lebih sempurna. . .
hanya nyanyian serenada sungai yang jadi pelipur penghiburku di atas ranjang tua ini
mengelus belai gaun pengantin nun dulunya kita pakai senestapa silam
serupa mawar - mawar terampas luluh gerimis berbahasa kepergian
tepat di setumpuk bintang kita gunting temali selendang di leher tanda pisah yang teramat manis
tiada buram lagi menyentuhmu yang hilang perlahan bersama selimut mimpi
mencoba tegar saat kau ucap ikrar suci untuknya dan mengingkari semua tentang kita
kini aku hanyut sampai senja berlalu untuk yang kesekian. . .
di sini juga aku memamah retakan hatimu hingga berdarah
bukan kah kau senang melihat ini sambil menggandeng perempuan barumu
dan berdua di bawah payung. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar