Bahkan adakalanya aku benci pada
diriku sendiri.
Hari berganti hari, tapi mengapa arah hatiku tak
pernah
berubah.
Selalu tertuju padamu.
Mengapa aku tak juga bisa
melupakanmu
seperti kamu melupakanku
Tak pernah sedetik pun aku lelah menunggu.
Namun
kamu selalu menganggapku lalu.
Aku seperti tak kasat mata bagimu.
Di awalnya aku berpikir, mungkin waktu
dengan mudah akan memupus rasa cinta dan sayang ku padamu.
Seperti
katamu dulu, “rasa sakitnya cuma sebentar saja!”.
Ingat kan,
kamu pernah berkata seperti itu?
Ternyata bukan hanya kamu yang
salah,
ternyata aku juga.
Aku benar-benar keliru. Rasa itu tak begitu saja
dapat
dengan mudah hilang dari hatiku.
Justru aku semakin sulit
meniadakanmu dari benak meski hanya sehari saja.
Dan aku tak
pernah punya cara untuk membakar habis semua rasa rindu yang selama ini
mengendap dalam hati aku.
Akhirnya aku menyerah.
Aku memilih
pasrah.
Aku terlalu letih untuk mencoba kembali meniadakanmu.
Akhirnya
aku memilih membiarkan cinta untukmu ini tetap menetap disana.
Pada
sekeping hati milikku.
Sungguh, aku benar-benar tak dapat melakukan
apapun untuk menghilangkan rasa yang selama ini melekat di hatiku
tersebut selain membiarkannya tumbuh.
Dengan keputusan tersebut tentu kamu
tau, berarti aku harus rela menahan ngilu tiap kali rasa rindu itu
datang.
Dan semua itu aku tanggung sendirian.
Tanpa kamu, yang
saya
harap memiliki rasa rindu yang sama seperti milikku.
Ah entahlah,
rasanya semua tentangmu seperti bayangan yang menempel tepat di bawah
kaki dan mengikuti kemana pun saat aku membawa kaki melangkah.
Sayang, saat aku menulis ini, langit pada malam ini menampakkan rembulan
yang berbentuk sabit
Aku, di sini memandangnya dengan hati yang
berbicara
Seolah bercakap denganmu,
Ya, walaupun aku tau, tak
sepatah katapun yang terlontar dari selengkung bulan sabit itu , yang
telah kuanggap senyum manis bibirmu :)
Ini adalah kesedihanku yang
kesekian.
Adakalanya dalam hatiku lega karena kamu tak mungkin
membacanya.
Jika benar-benar terbaca olehmu,aku yakin ini semua
mampu
menimbulkan rasa muak terhadapku.
Atau mungkin kamu akan jemu
membaca
semua ungkapan hatiku ini.
Maka ada baiknya ku akhiri saja.
Kepadamu, sayang, maafkan atas rapuhnya aku.
Karena selama ini aku
tak pernah bisa melupakan masa-masa itu, yang terpatri keras pada
benakku. Tak
pernah bisa melupakanmu.
Aku tak pernah
bisa memahami bahwa menumbuhkan cinta pada sekeping hatimu adalah tempat
yang salah.
Maafkan atas kelemahanku.
Yang tak
pernah mau menyadari bahwa antara kamu dan aku kini tak lagi punya
hubungan apa-apa.
Maafkan saya yang berkeras hati tetap memanggilmu
dengan
sebutan ‘sayang‘ bukan dengan ‘panggil nama’.
Sekali lagi. Maafkan aku, yang tak
pernah bisa menganggapmu bukan siapa-siapa bagiku.
Bahkan hanya untuk
mulai merentangkan tangan dan menggenggam tanganmu lalu memanggilmu
dengan sebutan teman. Aku tak bisa. Karna sebelumnya, beberapa tahun
yang lalupun kita tak pernah berteman , iya kan sayang ??
Jadi maaf, aku tak bisa
fidget