Sabtu, 26 Mei 2012

Surat Untukmu #2




Bahkan adakalanya aku benci pada diriku sendiri.
Hari berganti hari, tapi mengapa arah hatiku tak pernah berubah.
Selalu tertuju padamu.
Mengapa aku tak juga bisa melupakanmu seperti kamu melupakanku
Tak pernah sedetik pun aku lelah menunggu.
Namun kamu selalu menganggapku lalu.
Aku seperti tak kasat mata bagimu.


Di awalnya aku berpikir, mungkin waktu dengan mudah akan memupus rasa cinta dan sayang ku padamu.
Seperti katamu dulu, “rasa sakitnya cuma sebentar saja!”.
Ingat kan, kamu pernah berkata seperti itu?
Ternyata bukan hanya kamu yang  salah, ternyata aku juga.
Aku benar-benar keliru. Rasa itu tak begitu saja dapat dengan mudah hilang dari hatiku.
Justru aku semakin sulit meniadakanmu dari benak meski hanya sehari saja.
Dan aku tak pernah punya cara untuk membakar habis semua rasa rindu yang selama ini mengendap dalam hati aku.


Akhirnya aku menyerah.
Aku memilih pasrah.
Aku terlalu letih untuk mencoba kembali meniadakanmu.
Akhirnya aku memilih membiarkan cinta untukmu ini tetap menetap disana.
Pada sekeping hati milikku.
Sungguh, aku benar-benar tak dapat melakukan apapun untuk menghilangkan rasa yang selama ini melekat di hatiku tersebut selain membiarkannya tumbuh.


Dengan keputusan tersebut tentu kamu tau, berarti aku harus rela menahan ngilu tiap kali rasa rindu itu datang.
Dan semua itu aku tanggung sendirian.
Tanpa kamu, yang saya harap memiliki rasa rindu yang sama seperti milikku. 
Ah entahlah, rasanya semua tentangmu seperti bayangan yang menempel tepat di bawah kaki dan mengikuti kemana pun saat aku membawa kaki melangkah.


Sayang, saat aku menulis ini, langit pada malam ini menampakkan rembulan yang berbentuk sabit
Aku, di sini memandangnya dengan hati yang berbicara
Seolah bercakap denganmu,
Ya, walaupun aku tau, tak sepatah katapun yang terlontar dari selengkung bulan sabit itu , yang telah kuanggap senyum manis bibirmu :)


Ini adalah kesedihanku yang kesekian.
Adakalanya dalam hatiku lega karena kamu tak mungkin membacanya.
Jika benar-benar terbaca olehmu,aku yakin ini semua mampu menimbulkan rasa muak terhadapku.
Atau mungkin kamu akan jemu membaca semua ungkapan hatiku ini.
Maka ada baiknya ku akhiri saja.

Kepadamu, sayang, maafkan atas rapuhnya aku.
Karena selama ini aku tak pernah bisa melupakan masa-masa itu, yang terpatri keras pada benakku. Tak pernah bisa melupakanmu.
Aku tak pernah bisa memahami bahwa menumbuhkan cinta pada sekeping hatimu adalah tempat yang salah.


Maafkan atas kelemahanku.
Yang tak pernah mau menyadari bahwa antara kamu dan aku kini tak lagi punya hubungan apa-apa.
Maafkan saya yang berkeras hati tetap memanggilmu dengan sebutan ‘sayang‘ bukan dengan ‘panggil nama’.


Sekali lagi. Maafkan aku, yang tak pernah bisa menganggapmu bukan siapa-siapa bagiku.
Bahkan hanya untuk mulai merentangkan tangan dan menggenggam tanganmu lalu memanggilmu dengan sebutan teman. Aku tak bisa. Karna sebelumnya, beberapa tahun yang lalupun kita tak pernah berteman , iya kan sayang ??


Jadi maaf, aku tak bisa

fidget