Apa kabarmu?
Apakah kamu merasa kehilanganku karena beberapa hari ini aku tak hadir menyapamu?
Ah, rasanya pertanyaanku terlalu berlebihan, ya kan?
Tentu saja kamu tak merasa pernah kehilanganku, apalagi merindukanku.
Tidak seperti dulu.
Ya, seharusnya aku berpikir dulu sebelum bertanya padamu tadi. Maafkan aku. Seharusnya aku sadar bahwa kata kehilangan dan merindukan adalah dua kata yang hanya cocok buat perasaanku, bukan untuk kamu.
Sayang, menghilangnya aku beberapa hari
ini juga bukan karena aku marah padamu.
Bukan, bukan sama sekali.
Jauhkan pikiran itu jika hal itu sempat melintas dalam benakmu.
Lalu apa
yang menyebabkan aku berdiam beberapa hari ini?
Alasan aku cuma satu,
Sayang.
Karena aku kecewa.
Kecewa pada berbagai alasan penolakanmu,
juga kecewa dengan diriku sendiri.
Beberapa hari ini aku mengisinya
dengan merenung.
Merenungi tiap pembicaraan kita.
Merenungi tiap
penolakanmu yang bagiku lebih seperti duri yang menusukku
berulang-ulang tepat di dada.
Merenungi tiap rengekan dan kata penuh iba dariku yang kemudian selalu kamu jawab dengan satu kata, “mengertilah…”
yang kemudian membuatku benar-benar tak mampu untuk berkata-kata lagi.
Tau kah kamu, sayang, seperih apa
rasanya saat perasaan hati ini tak terbalas?
Menantikan sesuatu yang tak
kunjung datang?
Menghabiskan hari demi hari dengan perasaan rindu yang
kerap datang bertubi?
Menebak-nebak apakah kamu punya perasaan yang sama
dengan yang aku rasakan selama ini?
Lalu, terlalu berlebihankah jika
kemudian aku ingin bertemu denganmu dalam ketidaksengajaan waktu?
Tak bolehkahku ingin memperpajang waktu berbincang
denganmu kala aku punya kesempatan?
Terlarangkah bagiku bila ingin
tau apa yang ada dalam hatimu, sayang? Dalam pikiranmu?
Tak bolehkah aku
tau setitik apapun perasaan yang ada dalam benakmu? Tak bolehkah?
fidget